Ujung-ujungan, Mengusir Kejahatan Manusia ala Suku Tengger

Meski sedang tidak menggelar Upacara Karo, masyarakat Desa Ngadas di Malang menyambut rombongan Datsun Risers Expedition dengan Ujung-ujungan, sebuah tradisi di masyarakat Suku Tengger. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan para risers, untuk bisa melihat budaya asli desa Ngandas di Gunung Bromo.

Ujung-ujungan, Mengusir Kejahatan Manusia ala Suku Tengger

“Hari ini kita akan menyaksikan langsung budaya Ujung-ujungan. Biasanya budaya ini kami selenggarakan setiap tahunnya untuk merayakan hari raya Karo. Hari raya karo adalah hari bersih desa, sebagai wujud selamatan untuk kedua satria Seco dan Setuhu yang merebutkan satu pusaka yang mengakibatkan keduanya meninggal dunia,” kata Kepala Desa Ngadas Muljianto.

Dengan bertelanjang dada, dua laki-laki melakukan aksi ujung-ujungan menggunakan rotan. Sambil diiringi suara musik tradisional dua pria ini bertarung mengayunkan rotan masing-masing secara bergantian, yang langsung diawasi oleh para risers dan juri yang mengelilingi mereka.

Meski kerap melukai tubuh mereka masing-masing, senyum bahagia terpancar di keua lelaki tersebut. Karena budaya ini memang diselenggarakan sebagai budaya untuk menjaga kedamaian.

Tradisi budaya Ujung-ujungan ini dilakukan dengan saling cambuk-mencambuk dengan menggunakan rotan dan diiringi dengan suara musik tradisional. Tradisi ini dikatakan Muljianto diartikan, untuk mengusir tindakan jahat manusia. Kalau luapan kemarahan setiap manusia bisa didamaikan, maka tidak akan terjadi perkelahian atau saling menyerang.

Tubuh yang terluka akibat cambukan rotan diartikan sebagai peringatan, manusia tidak sempurna. Semuanya terlihat dari tubuh yang bisa terluka akibat rotan.

Budaya Ujung-ujungan ini pun menjadi perhatian para risers. Rasa penasaran, ngeri sekaligus antusias dan salut, terpancar dari setiap wajah risers saat melihat budaya Ujung-ujungan.

“Masyarakat di sini sangat konsisten menjaga budaya yang sudah ada sejak dulu. Senang bisa melihat budaya di desa Ngadas dan jadi tahu Indonesia memang memiliki berbagai budaya,” ujar risers Jawi asal Jakarta.

“Selain itu toleransi beragama sangat di junjung tinggi di desa ini, intinya isu-isu di Jakarta yang tidak kondusif tentang agama. Kita harus mencontoh dari masyarakat Desa Ngadas yang hidup berdampingan, meski beda agama. Setiap ada kegiatan dari satu agama semua pemeluk agama akan mengikuti prosesi agama tersebut,” tambah Jawi.

Rasa kagum akan Desa Ngadas pun juga disampaikan risers Nano. “Paling tertarik dengan berbagai pantangan di sini. Bahkan tadi diceritakan dengan menancapkan sesuatu ke dalam tanah saja tidak sembarangan. Paling respect lagi ada 4 agama di sini, selalu ngumpul dan selalu nyatu dan saling membantu. Begitu juga dengan berbagai budaya yang masih dilestarikan hingga saat ini,” kata Nano.

Tinggalkan komentar